Kamis, 09 Juni 2011

ANTARA FUDAMENATALIS,AGAMA DAN GLOBALISME


MENARIK membaca tulisan Askolan Lubis di harian ini, 11 Juli 2003. Di bawah
judul ''Alasan Teologis di Balik Teorisme Agama'' penulis menganalisis
fenomena kekerasan agama. Ia tidak hanya menjadi wajah gelap Islam. Hampir
semua agama memiliki catatan hitam tentangnya. Mulai dari kelompok
fundamentalis Kristen di AS, kelompok garis keras Yahudi di Palestina,
bahkan sampai melibatkan Buddhisme yang selama ini cukup dikenal sebagai
agama yang damai. Pertanyaannya, apakah kekerasan merupakan penyelewengan
(paradoks) dari esensi agama itu sendiri atau justru mendapat legitimasi
teologis dari agama? Tanpa memungkiri pengaruh imajinasi tentang perang
kosmik sebagai akar merebaknya kekerasan agama, tulisan berikut ingin
meneropong terorisme agama dalam konteks yang lebih luas. Hal ini didasarkan
pada keyakinan bahwa kekerasan agama tidak pernah berdiri sendiri sebagai
sebuah motivasi murni agama (JJ Tamayo-Acosta: Dialogo Interreligioso,
2003). Ia selalu terkait dengan tujuan terselubung (ekonomi, politik, sosial
dan budaya). Dalam konteks aktual adalah mustahil membedah problematik
kekerasan agama tanpa mengaitkannya dengan fenomena globalisasi. Minimnya
analisis tentang korelasi keduanya dapat menjadi alasan mengapa niat
memerangi fundamentalisme agama yang diprakarsai oleh AS bukan hanya tidak
efektif, tetapi bahkan melahirkan terorisme baru. *** Aksi fundamentalisme
bukan merupakan fenomena yang sama sekali baru. Ia sudah lama menjadi momok
dalam sejarah agama-agama. Namun, secara akademis baru dikenal semenjak
sejumlah profesor teologi pada Universitas Princeton menerbitkan sebuah buku
yang berjudul Fundamentals: A Testimony of the Truth (1909-1915). Berpijak
pada kenyataan sebagai korban modernisasi, para mahaguru itu mengedepankan
tesisnya tentang pentingnya menjadikan kitab suci sebagai satu-satunya
landasan terpercaya dalam kehidupan. Bagi mereka, Allah mewahyukan diri-Nya
secara langsung. Karena itu, ia perlu diartikan secara harfiah. Kitab suci
lantas dijadikan buku 'sakti' yang harus ditaati tanpa memberikan tempat
kepada penafsiran yang lebih kritis. Model tafsiran demikian bertentangan
dengan metode historis-kritis dan hermeneutis, sebagaimana dilansirkan oleh
teologi liberal. Arti setiap teks, menurut aliran ini, tidak terpenjara
dalam rumusan baku, melainkan perlu diaktualisasi. Apa yang ditulis waktu
itu memerlukan resonansi baru agar dapat sejalan dengan panggilan zaman.
 
Menerapkan secara harfiah teks kitab suci yang berbau teror, misalnya,
merupakan pengingkaran akan dambaan manusia yang pada intinya bertentangan
dengan kehendak Allah. Model penafsiran ini ditabukan oleh kaum
fundamentalistis. Bagi mereka, kebenaran hanya satu. Mereka (dan
golongannya) merupakan pemilik hak patennya. Sementara itu, golongan agama
lain dianggap kafir yang pada gilirannya perlu 'disadarkan' lewat pelbagai
cara, termasuk pelegitimasian kekerasan. Sikap intoleran seperti ini
terungkap dalam pelbagai cara. Biasanya pada awal sekadar pelecehan verbal.
Lambat-laun menumbuhkan agresivitas yang akhirnya bermuara kepada perang.
Atas keyakinan ini, tak jarang kaum fundamentalis militan secara heroik
melakukan aksi bunuh diri. Bagi mereka, hidup ketiadaan makna. Kematian
merupakan pilihan apalagi disertai iming-iming happy ending di alam baka.
*** Tendensi mengabsolutkan salah satu cara berpikir (kebenaran tunggal)
terjadi juga dalam bidang ekonomi. Senjak runtuhnya tembok Berlin dan
ambruknya Uni Soviet, kapitalisme merupakan satu-satunya model ekonomi yang
merambah dunia. Bahkan, negara-negara komunis seperti Kuba dan China dalam
kenyataannya telah memasuki dunia kapitalisme. Dunia semenjak saat itu hanya
berpacu dalam melodi globalisasi. Secara teoritis, globalisasi bersifat
interdependen, tetapi dalam kenyataannya sangat dependen. Mekanisme
globalisasi demikian tidak berpihak pada kaum miskin, tetapi lebih
menguntungkan negara maju. Sementara bagi negara-negara miskin, globalisasi
hanya mampir untuk menyapu bersih onggokan kekayaan yang masih tersisa.
Kekayaan terkonsentrasi di Barat, sementara negara miskin semakin terlupakan
dalam peta geopolitik internasional. Bagaimana reaksi orang-orang yang
terpinggirkan oleh globalisasi? Pemutlakan kebenaran tunggal dalam dunia
ekonomi (seperti juga dalam fundamentalisme agama) telah memunculkan
frustrasi berkepanjangan dalam diri para korban. Dalam situasi terjepit,
agama lantas menjadi tempat bernaung. Kaum terpinggirkan berusaha mengais
pada buku suci untuk menemukan secercah harapan. Sialnya, para ulama bervisi
sempit sering 'memanfaatkan' pencarian dengan indoktrinasi yang tidak jarang
memupuk merebaknya kekerasan. *** Mengabsolutkan satu cara berpikir
(disertai proses marginalisasi lawan) selalu mengandung bahaya. Hal ini
tidak hanya berlaku bagi fundamentalisme agama, tetapi juga globalisasi
ekonomi. Bagaimana keluar dari lingkaran setan ini? Pertama, pengaplikasian
kitab suci secara harfiah tanpa aktualisasi merupakan pengingkaran akan
nilai konstruktif-transformatif sabda Allah. Ia bersifat membangun,
menopang, dan menyatukan. Karena itu, ulama yang mengajarkan kekerasan dan
permusuhan merupakan 'nabi' yang layak untuk tidak digubris. Selain itu,
dalam dunia yang rentan terhadap konflik, bukanlah saatnya mempertentangkan
doktrin sebuah agama. Kebenaran, kalau memang ingin dicari, tidak harus
ditelusuri lewat adu argumentasi abstrak, melainkan perlu tertuju kepada
kesaksian hidup. Penganut agama yang gagal memberikan kesaksian tentang
cinta kasih, toleransi, solidaritas, memberi tempat untuk mempertanyakan
kadar keagamaannya. Kedua, globalisasi solidaritas. Mekanisme mengalirnya
modal ke negara-negara maju telah mendorong mobilisasi massa. Emigrasi
massal yang terlihat kini di Eropa menyeberangi Samudra Atlantik (dari
Afrika), serta membludaknya para 'turis' yang datang dari Amerika Latin
merupakan contoh bahwa manusia yang terdepak bergerak menemukan tempat di
mana modal terkonsentrasi. Dalam situasi demikian, mengetatkan kontrol
terhadap 'pendatang' (yang sering diembel-embeli oleh ketakutan akan
terorisme dan fundamentalisme agama) bukanlah satu-satunya alternatif,
bahkan merupakan ironi atas globalisasi itu sendiri. Mengapa hanya 'modal'
yang 'diizinkan' menembus batas-batas negara, sedangkan mobilisasi manusia
dikekang. Di sinilah nilai solidaritas diuji. Manusia perlu menjadi
prioritas. Ketiga, perang terhadap terorisme dan fundamentalisme agama
sebagaimana dipelopori AS akan mendapatkan gema ketika pada saat yang
bersamaan diadakan transformasi terhadap globalisasi. Fundamentalisme agama
tidak sekadar lahir oleh nafsu destruktif sebagaimana terungkap dalam
imajinasi perang kosmik. Aksi brutal, tidak jarang merupakan 'reaksi' untuk
membuka mata bahwa dunia tempat kita semua bersanding (juga dunia akhirat)
disiapkan oleh 'Yang Esa' untukmu dan untukku.*** 
https://developers.facebook.com/docs/plugins/