Di bulan yang suci ini, umat Islam
berlomba-lomba melakukan amal kebaikan, walau terkadang sandal jepit di
masjid masih saja hilang. Di media-media sosial banyak
aktivitas-aktivitas Ramadan yang terekspos, mulai dari buka puasa
bersama sampai dengan santunan anak yatim dan fakir miskin. Bahkan,
hal-hal yang bersifat privasi pun sudah ikut terpublikasi.
Bulan Ramadan telah membangkitkan kesalehan sosial dan kesalehan
individual umat Islam di seluruh dunia. Terlepas dari dijanjikannya
pahala yang dilipatgandakan atas setiap perbuatan baik yang dilakukan di
bulan suci ini. Namun, realitas yang ada, ada dikotomi seakan-akan
agama mempunyai dua kesalehan yang semestinya satu, yaitu kesalehan
individual/ritual dan kesalehan sosial.
Menurut hemat penulis, kesalehan individual adalah kesalehan yang
lebih fokus pada kepentingan pribadi yakni mementingkan pelaksanaan
ibadah ritual, seperti salat, puasa, zakat, haji, atau zikir. Disebut
kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata
berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri.
Di sisi lain, menurut hemat penulis pula, yang dinamakan kesalehan
sosial merujuk pada perilaku orang-orang yang mengamalkan nilai-nilai
islami yang bersifat sosial. Kalau penulis boleh meminjam istilah,
kalangan Nahdlatul Ulama adalah Islam yang ramah bukan Islam marah. Suka
menolong, sangat peduli terhadap masalah-masalah umat, memerhatikan dan
menghargai hak sesama. Artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang
lain, dan seterusnya.
Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang
tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, atau haji, melainkan juga
ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan
berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa
nyaman, damai, dan tenteram berinteraksi, bekerjasama, dan bergaul
dengannya.
Kesalehan ritual dan sosial saat ini menjadi tren wacana di kalangan
Islam fundamental sampai Islam liberal sekalipun. Realitas adanya
dikotomi antara dua kesalehan ini bermunculan ketika bangsa dengan
penganut Islam terbesar di dunia ini masih saja dalam lingkaran
kemiskinan, bahkan kelaparan, dan krisis hati nurani.
Ketika sebagian kalangan yang asyik mempolitisasi ayat-ayat suci,
sebagian lainnya kelaparan hampir mati, sedangkan sebagian lainnya pula
asyik di masjid sembari menangisi dosa-dosanya, lalu keluar dari
pelataran masjid dan melihat pengemis, namun ia tak mampu menangis.
Padahal secara tegas agama mengajarkan kepada kita, ibadah seorang
muslim tidaklah lengkap tanpa keseimbangan antara pelaksanaan
habluminallah dan
habluminannas
(hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia). Kesalehan sosial
bukan saja terabaikan di negeri ini, namun hampir punah. Kesalehan
sosial hanya terlihat ketika bulan Ramadan. Lihat saja angka antrian
haji dari tahun ke tahun semakin tinggi, begitupula angka kemiskinan
dari tahun ke tahun semakin tinggi.
Jikalau itu haji wajib apa hendak dikata. Namun, ada sebagian
kalangan yang berduit banyak masih saja melaksanakan ibadah haji
berulang-ulang kali, padahal ia lupa jika dalam agama haji diwajibkan
hanya sekali. Mungkin mereka lupa jika Islam mengajarkan
“Udkhuluu fis silmi kaffah” bahwa kesalehan dalam Islam mestilah secara total
Ya, secara tegas kita bisa menyimpulkan saleh secara
individual/ritual juga saleh secara sosial. Karena ibadah ritual selain
bertujuan pengabdian diri pada Allah, juga bertujuan membentuk
kepribadian yang islami sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan
sosial, atau hubungan sesama manusia. Namun, kembali lagi, kesalehan
itu tidak ditentukan berdasarkan ukuran serba formal. Dan biasanya,
Untuk hal satu ini ada saja orang-orang yang merasa memiliki otoritas
untuk menilai kredibilitas moral orang lain.
Ramadan kali ini muncul fenomena satpol PP menutup warung yang buka
di siang hari menjadi polemik. Beberapa pemilik warung beralasan buka
siang hari karena tidak tahu ada himbauan larangan buka siang hari di
bulan Ramadan. Sebagian lagi buka warung karena butuh uang untuk
menghadapi Lebaran. Peristiwa ini tentunya ditanggapi berbeda-beda dan
tegantung pada pendekatan apa yang digunakan oleh sang penanggap.
Penulis teringat dengan Gus Dur yang giat menganjurkan agar berpuasa
dengan menghargai orang yang tidak berpuasa. Salah satu pemikiran
cemerlang Gus Dur menurut hemat penulis adalah ketika ia menyampaikan
agar umat Islam harus istirahat sebentar dari kesibukan berdebat tentang
hal-hal fundamental, seperti batalnya wudu, qunut dan tidak qunut, yang
membatalkan puasa dan tidak membatalkan puasa, untuk khusyuk
bersama-sama memikirkan bagaimana kemiskinan umat ditangani.
Bukankah baginda Rasulullah SAW sejak lima belas abad silam telah
mewanti-wanti betapa kemiskinan itu seringkali berujung pada kekafiran,
kada al faqru an yakuna kufran.
Dari peristiwa ini kita harus membuka mata bersama bahwa masalah kita
hari ini adalah krisis kesalehan sosial yang mengakibatkan saudara kita
miskin, tetangga kita miskin, hingga dekat dengan apa yang di
peringatkan oleh baginda Rasulullah SAW di atas.
Menahan haus dan lapar di bulan Ramadan ini adalah bagian dari
bagaimana kita bisa merasakan yang dirasakan kaum fakir miskin. Sehingga
keberadaan bulan Ramadan sebagai contoh bagi bulan-bulan lainnya.
Bagaimana kita berlomba-lomba melakukan kesalehan individual dan
menyempurnakannya dengan kesalehan sosial.
Menahan haus, lapar, hawa nafsu, kemudiaan berzikir, tadarus sampai
bersedekah. Bulan Ramadan telah mengajarkan kita cinta kepada Allah dan
sesama manusia. Di mana jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap
orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di
dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai “sang mesias”, juru selamat.
Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka
telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang merintih karena haus
dahaga. Sehingga kita tak lagi egois dan asyik menjalankan kesalehan
individual sampai lupa dengan kesalehan sosial yang justru menjadi
penyempurna ibadah kita. Seperti apa yang telah diperingatkan kepada
kita, bahwa celakalah bagi orang-orang menjalankan salat, tetapi
menghardik anak yatim dan tak memberi makan fakir miskin.