Sabtu, 25 Juni 2016

Ikuti Lomba Imajenesia Toyota

Imajinesia “Inspirasi Indonesia” Blog & Quote Competition

Ketahuilah perubahan kecil yang positif akan bermanfaat dan berdampak besar bagi diri kita bahkan untuk lingkungan dan juga Indonesia yang lebih baik. Dalam rangka memajukan Indonesia yang lebih baik, TMMIN mengajak warga Indonesia untuk berpartisipasi dalam Blog & Quote Competition IMAJINESIA “Inspirasi Indonesia”.

  1. Blog & Quote Competition IMAJINESIA “Inspirasi Indonesia” merupakan sebuah sarana untuk berbagi sekaligus berkompetisi lewat pengalaman menarik atau cerita inspiratif bagi siapapun dengan tema dan kategori sebagai berikut Product & Technology (contohnya adalah eco & safety technology, eco hobby, ide kendaraan pedesaan masa depan, dan lain-lain), Industry Development (contohnya adalah new business/start up, DIY in Indonesia, income generating activities, dan lain-lain), social empowerment (contohnya adalah knowledge sharing

Imajinesia “Inspirasi Indonesia” Blog & Quote Competition


Ketahuilah perubahan kecil yang positif akan bermanfaat dan berdampak besar bagi diri kita bahkan untuk lingkungan dan juga Indonesia yang lebih baik. Dalam rangka memajukan Indonesia yang lebih baik, TMMIN mengajak warga Indonesia untuk berpartisipasi dalam Blog & Quote Competition IMAJINESIA “Inspirasi Indonesia”.
Blog & Quote Competition IMAJINESIA “Inspirasi Indonesia” merupakan sebuah sarana untuk berbagi sekaligus berkompetisi lewat pengalaman menarik atau cerita inspiratif bagi siapapun dengan tema dan kategori sebagai berikut Product & Technology (contohnya adalah eco & safety technology, eco hobby, ide kendaraan pedesaan masa depan, dan lain-lain), Industry Development (contohnya adalah new business/start up, DIY in Indonesia, income generating activities, dan lain-lain), social empowerment (contohnya adalah knowledge sharing, culture preservation, social culture, dan lain-lain).
http://www.toyotaindonesiamanufacturing.co.id/imajinesia2/tentang-imajinesia
Tentang Imajinesia

Berbuka Puasa di Mesjid Agung 45 Makassar

Ratusan umat Muslim terlihat memadati Masjid Agung 45 Makassar saat menjelang waktu berbuka puasa. Para jemaah duduk saling berhadap-hadapan dan membentuk barisan memanjang secara horizontal sebagaimana arahan dari pengurus masjid. Petugas kemudian mulai membagikan piring yang berisikan kurma dan kue-kue tradisional kepada jemaah untuk berbuka puasa. Walaupun hanya dengan dua buah kurma, kue-kue tradisional, serta segelas air mineral, tetap disyukuri bersama.
Azan pun selesai dikumandangkan, pertanda harus bergegas untuk melaksanakan salat magrib. Setelah selesai salat magrib, biasanya para jemaah di masjid-masjid lainnya langsung bergegas kembali ke rumah masing-masing, namun di Masjid Agung 45 Makassar petugas mulai sibuk kembali membagikan nasi kotak. Yang mengagetkan adalah isi dari nasi kotak tersebut yang ternyata berisi lauk-pauk yang penuh dengan kandungan gizi.
Jika Anda berada di Kota Makassar, silahkan mencoba untuk merasakan suasana berbuka puasa di Masjid Agung 45 Makassar. Jangan khawatir, Anda tidak perlu merogoh kocek untuk berbuka puasa di Masjid 45 Makassar ini, sebab menurut salah satu jemaah masjid, hal tersebut adalah bagian dari tradisi di bulan Ramadan.
Selama bulan Ramadan para pengurus Masjid Agung 45 Makassar menyediakan makanan berbuka yang sarat kandungan gizi secara gratis kepada jemaahnya. Lokasi masjid ini pun sangat strategis, yaitu di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, Sulawesi Selatan. Tepatnya di samping Menara Universitas Muslim Indonesia. tulisan ini juga saya kirim ke cerita anda viva.co.id, silahkan klik link dibawah ini
 http://www.viva.co.id/ramadan2016/read/788564-rasakan-eksotisme-berbuka-puasa-di-masjid-agung-45-makassar

Ramadhan Antara Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial

Di bulan yang suci ini, umat Islam berlomba-lomba melakukan amal kebaikan, walau terkadang sandal jepit di masjid masih saja hilang. Di media-media sosial banyak aktivitas-aktivitas Ramadan yang terekspos, mulai dari buka puasa bersama sampai dengan santunan anak yatim dan fakir miskin. Bahkan, hal-hal yang bersifat privasi pun sudah ikut terpublikasi.
Bulan Ramadan telah membangkitkan kesalehan sosial dan kesalehan individual umat Islam di seluruh dunia. Terlepas dari dijanjikannya pahala yang dilipatgandakan atas setiap perbuatan baik yang dilakukan di bulan suci ini. Namun, realitas yang ada, ada dikotomi seakan-akan agama mempunyai dua kesalehan yang semestinya satu, yaitu kesalehan individual/ritual dan kesalehan sosial.
Menurut hemat penulis, kesalehan individual adalah kesalehan yang lebih fokus pada kepentingan pribadi yakni mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti salat, puasa, zakat, haji, atau zikir. Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri.
Di sisi lain, menurut hemat penulis pula, yang dinamakan kesalehan sosial merujuk pada perilaku orang-orang yang mengamalkan nilai-nilai islami yang bersifat sosial. Kalau penulis boleh meminjam istilah, kalangan Nahdlatul Ulama adalah Islam yang ramah bukan Islam marah. Suka menolong, sangat peduli terhadap masalah-masalah umat, memerhatikan dan menghargai hak sesama. Artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya.
Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, atau haji, melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tenteram berinteraksi, bekerjasama, dan bergaul dengannya.
Kesalehan ritual dan sosial saat ini menjadi tren wacana di kalangan Islam fundamental sampai Islam liberal sekalipun. Realitas adanya dikotomi antara dua kesalehan ini bermunculan ketika bangsa dengan penganut Islam terbesar di dunia ini masih saja dalam lingkaran kemiskinan, bahkan kelaparan, dan krisis hati nurani.
Ketika sebagian kalangan yang asyik mempolitisasi ayat-ayat suci, sebagian lainnya kelaparan hampir mati, sedangkan sebagian lainnya pula asyik di masjid sembari menangisi dosa-dosanya, lalu keluar dari pelataran masjid dan melihat pengemis, namun ia tak mampu menangis.
Padahal secara tegas agama mengajarkan kepada kita, ibadah seorang muslim tidaklah lengkap tanpa keseimbangan antara pelaksanaan habluminallah dan habluminannas (hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia). Kesalehan sosial bukan saja terabaikan di negeri ini, namun hampir punah. Kesalehan sosial hanya terlihat ketika bulan Ramadan. Lihat saja angka antrian haji dari tahun ke tahun semakin tinggi, begitupula angka kemiskinan dari tahun ke tahun semakin tinggi.
Jikalau itu haji wajib apa hendak dikata. Namun, ada sebagian kalangan yang berduit banyak masih saja melaksanakan ibadah haji berulang-ulang kali, padahal ia lupa jika dalam agama haji diwajibkan hanya sekali. Mungkin mereka lupa jika Islam mengajarkan “Udkhuluu fis silmi kaffah” bahwa kesalehan dalam Islam mestilah secara total
Ya, secara tegas kita bisa menyimpulkan saleh secara individual/ritual juga saleh secara sosial. Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah, juga bertujuan membentuk kepribadian yang islami sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia. Namun, kembali lagi, kesalehan itu tidak ditentukan berdasarkan ukuran serba formal. Dan biasanya, Untuk hal satu ini ada saja orang-orang yang merasa memiliki otoritas untuk menilai kredibilitas moral orang lain.
Ramadan kali ini muncul fenomena satpol PP menutup warung yang buka di siang hari menjadi polemik. Beberapa pemilik warung beralasan buka siang hari karena tidak tahu ada himbauan larangan buka siang hari di bulan Ramadan. Sebagian lagi buka warung karena butuh uang untuk menghadapi Lebaran. Peristiwa ini tentunya ditanggapi berbeda-beda dan tegantung pada pendekatan apa yang digunakan oleh sang penanggap.
Penulis teringat dengan Gus Dur yang giat menganjurkan agar berpuasa dengan menghargai orang yang tidak berpuasa. Salah satu pemikiran cemerlang Gus Dur menurut hemat penulis adalah ketika ia menyampaikan agar umat Islam harus istirahat sebentar dari kesibukan berdebat tentang hal-hal fundamental, seperti batalnya wudu, qunut dan tidak qunut, yang membatalkan puasa dan tidak membatalkan puasa, untuk khusyuk bersama-sama memikirkan bagaimana kemiskinan umat ditangani.
Bukankah baginda Rasulullah SAW sejak lima belas abad silam telah mewanti-wanti betapa kemiskinan itu seringkali berujung pada kekafiran, kada al faqru an yakuna kufran. Dari peristiwa ini kita harus membuka mata bersama bahwa masalah kita hari ini adalah krisis kesalehan sosial yang mengakibatkan saudara kita miskin, tetangga kita miskin, hingga dekat dengan apa yang di peringatkan oleh baginda Rasulullah SAW di atas.
Menahan haus dan lapar di bulan Ramadan ini adalah bagian dari bagaimana kita bisa merasakan yang dirasakan kaum fakir miskin. Sehingga keberadaan bulan Ramadan sebagai contoh bagi bulan-bulan lainnya. Bagaimana kita berlomba-lomba melakukan kesalehan individual dan menyempurnakannya dengan kesalehan sosial.
Menahan haus, lapar, hawa nafsu, kemudiaan berzikir, tadarus sampai bersedekah. Bulan Ramadan telah mengajarkan kita cinta kepada Allah dan sesama manusia. Di mana jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai “sang mesias”, juru selamat.
Orang yang berpunya dan hatinya selalu diasah dengan puasa, maka telinga jiwanya mendengar suara sang fakir yang merintih karena haus dahaga. Sehingga kita tak lagi egois dan asyik menjalankan kesalehan individual sampai lupa dengan kesalehan sosial yang justru menjadi penyempurna ibadah kita. Seperti apa yang telah diperingatkan kepada kita, bahwa celakalah bagi orang-orang menjalankan salat, tetapi menghardik anak yatim dan tak memberi makan fakir miskin.

Minggu, 03 Januari 2016

Selamat Datang 2016

Add caption
 "Kami melewati malam akhir tahun dengan memilih jauh dari keramaian kota, bunyi mercun, macet, apalagi polusi udara dengan memilih ke berssimponi dengan alam disalah satu pulau di Kota Makassar"
walaupun dipulau tetapi karena jaraknya tak jauh dari pantai losari yang menjadi pusat perayaan tahun baru 2016 dikota Makassar maka kami juga tak melewati pesta kembang api yang memukau tetapi setelah itu kami pastikan wajah kota makassar ditutupi dengan kabut hitam hasil polusi dari kembang api. di pulau itu justru kami menyadari pesta kembang api justru membuat polusi udara yang sangat berbahaya bagi penghuni bumi.
kami juga menyaksikan sejejeran barisan kapal yang menyalakan bunyi stomnya dan menyalakan tanda gawat darurat dengan berkas cahaya merah seperti kembang api pula tapi kali ini sebagai tanda pergantian tahun,




Kamis, 24 Desember 2015

Selamat Menempuh Hidup Baru

Sengaja kali ini saya melungkan waktu sejenak  untuk menulis untuk sahabat saya, Yuniarti Maasily Amd.Kep dengan Ahmadia Mahulau sekadar turut memeriahkan hari bahagianya walaupun hanya melalui tulisan ini semoga mereka diberikan keturunan yang soleh dan soleha dan diberikan rejeki atas ibadah yang kali ini mereka jalankan. niat baik dan usaha yang baik selalu membuahkan hasil yang baik pula walaupun didalam memperjuangkan hal ini tak semudah membalikan telapak tangan, doa-doa yang datang dari sahabat maupun kerabat dikemas dalam setiap ucapan  menjadi batu tapal bagi kalian sahabatku. Rupanya tak ketinggalan saya kutip ucapan yang datang dari pemilik akun Facebook bernama Wirda Al-Munawarah "Teruntuk 2 sahabat terbaik yang hari ini mengawali kesempurnaan cintanya lewat ikrar suci akad nikah bertepatan dgn perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW..

Semoga dapat dijadikan sebagai sebaik2nya teladan..
Buat Bang Adi..
Smoga mampu jadi suami n bapak yg baik buat istri n anak2 klak nanti. Imam yg baik, yg Insya Allah mampu menuntun istri dan anak2 kelak nanti menuju JannahNya..
Teruntuk sayangku Yuni..
Sayang, smoga mampu menjadi istri n Ibu yg baik utk suami n anak2 klak nanti. Cengeng dan manjanya dikurangi. Jadilah Ibu cerdas yg Insya Allah melahirkan generasi2 cerdas..
Smoga mampu membangun biduk rumah tangga yg Saqinah, Mawaddah, Warahmah hingga nanti maut yang memisahkan."
Intinya tulisan ini saya buat untuk turut meramaikan hari bahagiamu sahabatku.

Kamis, 09 Juni 2011

ANTARA FUDAMENATALIS,AGAMA DAN GLOBALISME


MENARIK membaca tulisan Askolan Lubis di harian ini, 11 Juli 2003. Di bawah
judul ''Alasan Teologis di Balik Teorisme Agama'' penulis menganalisis
fenomena kekerasan agama. Ia tidak hanya menjadi wajah gelap Islam. Hampir
semua agama memiliki catatan hitam tentangnya. Mulai dari kelompok
fundamentalis Kristen di AS, kelompok garis keras Yahudi di Palestina,
bahkan sampai melibatkan Buddhisme yang selama ini cukup dikenal sebagai
agama yang damai. Pertanyaannya, apakah kekerasan merupakan penyelewengan
(paradoks) dari esensi agama itu sendiri atau justru mendapat legitimasi
teologis dari agama? Tanpa memungkiri pengaruh imajinasi tentang perang
kosmik sebagai akar merebaknya kekerasan agama, tulisan berikut ingin
meneropong terorisme agama dalam konteks yang lebih luas. Hal ini didasarkan
pada keyakinan bahwa kekerasan agama tidak pernah berdiri sendiri sebagai
sebuah motivasi murni agama (JJ Tamayo-Acosta: Dialogo Interreligioso,
2003). Ia selalu terkait dengan tujuan terselubung (ekonomi, politik, sosial
dan budaya). Dalam konteks aktual adalah mustahil membedah problematik
kekerasan agama tanpa mengaitkannya dengan fenomena globalisasi. Minimnya
analisis tentang korelasi keduanya dapat menjadi alasan mengapa niat
memerangi fundamentalisme agama yang diprakarsai oleh AS bukan hanya tidak
efektif, tetapi bahkan melahirkan terorisme baru. *** Aksi fundamentalisme
bukan merupakan fenomena yang sama sekali baru. Ia sudah lama menjadi momok
dalam sejarah agama-agama. Namun, secara akademis baru dikenal semenjak
sejumlah profesor teologi pada Universitas Princeton menerbitkan sebuah buku
yang berjudul Fundamentals: A Testimony of the Truth (1909-1915). Berpijak
pada kenyataan sebagai korban modernisasi, para mahaguru itu mengedepankan
tesisnya tentang pentingnya menjadikan kitab suci sebagai satu-satunya
landasan terpercaya dalam kehidupan. Bagi mereka, Allah mewahyukan diri-Nya
secara langsung. Karena itu, ia perlu diartikan secara harfiah. Kitab suci
lantas dijadikan buku 'sakti' yang harus ditaati tanpa memberikan tempat
kepada penafsiran yang lebih kritis. Model tafsiran demikian bertentangan
dengan metode historis-kritis dan hermeneutis, sebagaimana dilansirkan oleh
teologi liberal. Arti setiap teks, menurut aliran ini, tidak terpenjara
dalam rumusan baku, melainkan perlu diaktualisasi. Apa yang ditulis waktu
itu memerlukan resonansi baru agar dapat sejalan dengan panggilan zaman.
 
Menerapkan secara harfiah teks kitab suci yang berbau teror, misalnya,
merupakan pengingkaran akan dambaan manusia yang pada intinya bertentangan
dengan kehendak Allah. Model penafsiran ini ditabukan oleh kaum
fundamentalistis. Bagi mereka, kebenaran hanya satu. Mereka (dan
golongannya) merupakan pemilik hak patennya. Sementara itu, golongan agama
lain dianggap kafir yang pada gilirannya perlu 'disadarkan' lewat pelbagai
cara, termasuk pelegitimasian kekerasan. Sikap intoleran seperti ini
terungkap dalam pelbagai cara. Biasanya pada awal sekadar pelecehan verbal.
Lambat-laun menumbuhkan agresivitas yang akhirnya bermuara kepada perang.
Atas keyakinan ini, tak jarang kaum fundamentalis militan secara heroik
melakukan aksi bunuh diri. Bagi mereka, hidup ketiadaan makna. Kematian
merupakan pilihan apalagi disertai iming-iming happy ending di alam baka.
*** Tendensi mengabsolutkan salah satu cara berpikir (kebenaran tunggal)
terjadi juga dalam bidang ekonomi. Senjak runtuhnya tembok Berlin dan
ambruknya Uni Soviet, kapitalisme merupakan satu-satunya model ekonomi yang
merambah dunia. Bahkan, negara-negara komunis seperti Kuba dan China dalam
kenyataannya telah memasuki dunia kapitalisme. Dunia semenjak saat itu hanya
berpacu dalam melodi globalisasi. Secara teoritis, globalisasi bersifat
interdependen, tetapi dalam kenyataannya sangat dependen. Mekanisme
globalisasi demikian tidak berpihak pada kaum miskin, tetapi lebih
menguntungkan negara maju. Sementara bagi negara-negara miskin, globalisasi
hanya mampir untuk menyapu bersih onggokan kekayaan yang masih tersisa.
Kekayaan terkonsentrasi di Barat, sementara negara miskin semakin terlupakan
dalam peta geopolitik internasional. Bagaimana reaksi orang-orang yang
terpinggirkan oleh globalisasi? Pemutlakan kebenaran tunggal dalam dunia
ekonomi (seperti juga dalam fundamentalisme agama) telah memunculkan
frustrasi berkepanjangan dalam diri para korban. Dalam situasi terjepit,
agama lantas menjadi tempat bernaung. Kaum terpinggirkan berusaha mengais
pada buku suci untuk menemukan secercah harapan. Sialnya, para ulama bervisi
sempit sering 'memanfaatkan' pencarian dengan indoktrinasi yang tidak jarang
memupuk merebaknya kekerasan. *** Mengabsolutkan satu cara berpikir
(disertai proses marginalisasi lawan) selalu mengandung bahaya. Hal ini
tidak hanya berlaku bagi fundamentalisme agama, tetapi juga globalisasi
ekonomi. Bagaimana keluar dari lingkaran setan ini? Pertama, pengaplikasian
kitab suci secara harfiah tanpa aktualisasi merupakan pengingkaran akan
nilai konstruktif-transformatif sabda Allah. Ia bersifat membangun,
menopang, dan menyatukan. Karena itu, ulama yang mengajarkan kekerasan dan
permusuhan merupakan 'nabi' yang layak untuk tidak digubris. Selain itu,
dalam dunia yang rentan terhadap konflik, bukanlah saatnya mempertentangkan
doktrin sebuah agama. Kebenaran, kalau memang ingin dicari, tidak harus
ditelusuri lewat adu argumentasi abstrak, melainkan perlu tertuju kepada
kesaksian hidup. Penganut agama yang gagal memberikan kesaksian tentang
cinta kasih, toleransi, solidaritas, memberi tempat untuk mempertanyakan
kadar keagamaannya. Kedua, globalisasi solidaritas. Mekanisme mengalirnya
modal ke negara-negara maju telah mendorong mobilisasi massa. Emigrasi
massal yang terlihat kini di Eropa menyeberangi Samudra Atlantik (dari
Afrika), serta membludaknya para 'turis' yang datang dari Amerika Latin
merupakan contoh bahwa manusia yang terdepak bergerak menemukan tempat di
mana modal terkonsentrasi. Dalam situasi demikian, mengetatkan kontrol
terhadap 'pendatang' (yang sering diembel-embeli oleh ketakutan akan
terorisme dan fundamentalisme agama) bukanlah satu-satunya alternatif,
bahkan merupakan ironi atas globalisasi itu sendiri. Mengapa hanya 'modal'
yang 'diizinkan' menembus batas-batas negara, sedangkan mobilisasi manusia
dikekang. Di sinilah nilai solidaritas diuji. Manusia perlu menjadi
prioritas. Ketiga, perang terhadap terorisme dan fundamentalisme agama
sebagaimana dipelopori AS akan mendapatkan gema ketika pada saat yang
bersamaan diadakan transformasi terhadap globalisasi. Fundamentalisme agama
tidak sekadar lahir oleh nafsu destruktif sebagaimana terungkap dalam
imajinasi perang kosmik. Aksi brutal, tidak jarang merupakan 'reaksi' untuk
membuka mata bahwa dunia tempat kita semua bersanding (juga dunia akhirat)
disiapkan oleh 'Yang Esa' untukmu dan untukku.*** 
https://developers.facebook.com/docs/plugins/